Crusades and the decline of Islamic civilization
الحر وب الصليبية و انحطاط الحضار ة الإسلامية
Mu’allif Kutub
Universitas PTIQ Jakarta
muallifk@gmail.com
ABSTRAK
Perang Salib adalah konflik militer yang terjadi antara dunia Kristen dan Islam
pada akhir abad ke-11 hingga abad ke-13, dipicu oleh ambisi merebut Yerusalem,
faktor politik Kaisar Bizantium, dan kepentingan ekonomi Eropa. Konflik ini
tidak hanya melibatkan motivasi religius tetapi juga kepentingan geopolitik dan
sosial yang kompleks. Bagi dunia Islam, Perang Salib menjadi momen krusial
yang mempercepat kemunduran peradaban akibat perpecahan politik,
melemahnya semangat keislaman, dan kerusakan struktural di berbagai bidang.
Sebaliknya, dunia Barat memanfaatkan interaksi ini untuk menyerap ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya dari dunia Islam, yang menjadi fondasi bagi
kebangkitan intelektual Eropa menuju Renaissance. Oleh karena itu, Perang
Salib tidak hanya menggambarkan konflik militer tetapi juga simbol transfer
kekuatan peradaban, di mana Barat mendapatkan keuntungan besar, sementara
dunia Islam menghadapi tantangan yang melemahkan fondasinya sebagai pusat
peradaban global.
Kata Kunci: Perang Salib,Dunia Kristen, Kemunduran Peradaban Islam
الملخص
كانت الحر وب الصليبية صر اعًا عسكريً ً دار بين العالمين المس يحي و الإ سلامي في أ و اخر القر ن الحادي عشر ا إ لى القر ن الثالث عشر،
أ ججته أ طماع الاستيلاء على بيت المقدس و عو امل س ياس ية للا إ مبر اطور البيز نطي و مصالح اقتصادية أ ورو بية. لم يكن الصر اع ينطو ي
ة فحسب، بل كان ينطو ي أ يض ً ا على مصالح جيو س ياس ية و اجتماعية معقدة. فبالنس بة للعالم ال إ سلامي، أ صبحت الحر وب
على دو افع ديني
الصليبية لحظة حاسمة سر ّعت من تدهور الحضار ة بسبب الانقسامات الس ياس ية و ا إ ضعاف الر وح الإسلامية و ال ضر ار الهيكلية في
الغر ب من هذا التفاعل لستيعاب العلو م و التكنو لو جيا و الثقافة من العالم الإسلامي،
مختلف المجالت. و على العكس من ذلك، اس تفاد
و التي أ صبحت أ ساس ً ا لصحو ة أ وروبا الفكر ية نحو عصر النهضة. و من ثم فا إ ن الحر وب الصليبية ل تمثل صر اعًا عسكريً ً فحسب، بل تمثل
ير ًا، بينما و اجه العالم الإسلامي تحديًت أ ضعفت من أ ساسه كمر كز للحضار ة
أ يض ً ا ر مز ً ا لنتقال القو ة الحضار ية، اس تفاد منها الغر ب كث
.العالمية
الحر وب الصليبية، العالم المس يحي، انحدار الحضار ة ال إ سلامية
الكلمات المفتاحية:ABSTRACT
The Crusades were a military conflict that took place between the Christian and
Islamic worlds in the late 11th century to the 13th century, triggered by ambitions
to capture Jerusalem, political factors of the Byzantine Emperor, and European
economic interests. The conflict involved not only religious motivations but also
complex geopolitical and social interests. For the Islamic world, the Crusades
became a crucial moment that accelerated the decline of civilization due to
political divisions, the weakening of the Islamic spirit, and structural damage in
various fields. Conversely, the Western world utilized this interaction to absorb
science, technology and culture from the Islamic world, which became the
foundation for Europe’s intellectual awakening towards the Renaissance. The
Crusades, therefore, represent not only a military conflict but also a symbol of
the transfer of civilizational power, in which the West benefited greatly, while
the Islamic world faced challenges that weakened its foundation as a global
center of civilization.
Keywords: Crusades, Christian World, Decline of Islamic Civilization
PENDAHULUAN
Perang Salib merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah
hubungan antara dunia Islam dan Kristen, yang berlangsung selama lebih dari
dua abad. Awalnya dipicu oleh ambisi merebut kembali Tanah Suci, konflik ini
berkembang menjadi rangkaian perang yang melibatkan berbagai kepentingan
politik, ekonomi, dan agama. Selain dampak militernya, Perang Salib juga
membawa perubahan mendalam pada struktur sosial, politik, dan budaya di
dunia Islam.
Bagi peradaban Islam, Perang Salib bukan sekadar ancaman eksternal,
tetapi juga memicu dinamika internal yang signifikan. Konflik berkepanjangan
ini menyebabkan melemahnya kohesi politik, terkurasnya sumber daya, dan
hilangnya semangat keislaman di beberapa kalangan, terutama di antara para
penguasa. Keadaan ini diperburuk oleh perpecahan internal di antara dinasti-
dinasti Islam, yang mengurangi kemampuan umat untuk menghadapi tantangan
eksternal secara kolektif.
Sementara itu, interaksi dengan dunia Barat selama Perang Salib turut
membawa pengaruh budaya dan politik yang kompleks. Namun, alih-alih
memperkuat peradaban Islam, pengaruh ini sering kali mengarah pada adopsi
nilai-nilai asing yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, sehingga
mempercepat kemunduran dalam berbagai aspek kehidupan. Fenomena ini
menunjukkan bagaimana sebuah peradaban dapat mengalami kemunduran
ketika kehilangan arah spiritual dan persatuan.KAJIAN TERDAHULU YANG RELEVAN
Penelitian Muhammad Basri, Anisa Zakia Nasution, dan Yasmina Fajri
menyoroti bahwa meskipun Perang Salib memiliki motif agama yang kuat,
ambisi politik dan ekonomi juga menjadi alasan penting di balik pertempuran
ini. Selama hampir dua abad berlangsung, perang ini membawa kerugian besar
bagi dunia Islam, baik secara fisik maupun peradaban, tetapi di sisi lain memberi
kontribusi signifikan bagi kemajuan Eropa melalui transfer ilmu pengetahuan
dan budaya.
Masoumeh Banitalebi dan rekan-rekannya dalam jurnal “The Impact of
Islamic Civilization and Culture in Europe During the Crusades” menunjukkan
bahwa meskipun terjadi hubungan antara dunia Islam dan Eropa, umat Islam
tidak memandang Perang Salib sebagai peristiwa yang terpisah dari perjuangan
melawan musuh-musuh lain. Sebaliknya, dunia Eropa memanfaatkan hubungan
tersebut untuk membangun momentum kemajuan dengan menerjemahkan
karya-karya ilmiah Islam dan memulai gerakan intelektual yang menjadi cikal
bakal Renaissance.
Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, jelas bahwa Perang Salib
membawa dampak yang beragam bagi peradaban Islam. Di satu sisi, dunia Islam
mengalami kerugian besar, baik secara fisik maupun kehilangan arah spiritual
dalam beberapa aspek. Di sisi lain, peradaban Barat mendapatkan keuntungan
besar melalui interaksi budaya dan intelektual. Penelitian ini akan membahas
lebih lanjut dampak Perang Salib terhadap kemunduran peradaban Islam,
dengan menitikberatkan pada perubahan politik, sosial, dan intelektual yang
terjadi selama dan setelah konflik ini.
PEMBAHASAN
A.Pengertian Perang Salib
Perang Salib adalah rangkaian ekspedisi militer yang dilakukan oleh umat
Kristen Eropa melawan umat Muslim di Palestina dari abad ke-11 hingga abad ke-
13. Konflik ini (1096-1291) muncul sebagai respons umat Kristen Eropa terhadap
ekspansi dunia Islam di Asia, yang sejak tahun 632 M dianggap sebagai kekuatan
“penyerang,” tidak hanya di Suriah dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan
Sisilia. Istilah Perang Salib merujuk pada penggunaan simbol salib oleh para
prajurit Kristen di pakaian, panji, dan lencana mereka sebagai tanda persatuan,
yang menegaskan bahwa peperangan ini dianggap sebagai perang suci.
Tujuannya adalah untuk merebut kembali kota suci Baitulmakdis (Yerusalem)
dari kekuasaan umat Muslim serta mendirikan gereja dan kerajaan Latin di
wilayah Timur.1
Perang Salib berakhir seiring dengan perubahan signifikan dalam lanskap
politik dan agama di Eropa selama masa Renaissance. Pada dasarnya, Perang
1 Muhammad Yusuf, “Perang Salib; Sebab Dan Dampak Terjadinya Perang Salib,” Al-Ubudiyah: Jurnal
Pendidikan Dan Studi Islam 1, no. 1 (2020)B.Salib bukan semata-mata konflik agama, melainkan perjuangan untuk
menguasai wilayah strategis. Hal ini tercermin dari adanya pertukaran ilmu
pengetahuan antara tentara Salib dan tentara Muslim, yang menunjukkan
interaksi intelektual di tengah konflik tersebut.
Sebab Sebab Terjadinya Perang Salib
Ada berbagai hal yang menjadi sebab terjadinya Perang Salib, sebagian
diantaranya bisa kita sebutkan, yaitu kecenderungan gaya hidup nomaden dan
militeristik suku-suku Teutonik-Jerman yang telah mengubah peta Eropa sejak
mereka memasuki babak sejarah, dan perusakan makam suci milik gereja,
tempat ziarah ribuan orang Eropa yang kunci-kuncinya telah diserahkan pada
800 M kepada Charlemagne dengan berkah dari Uskup Yerrusalem oleh Al-
Hakim. Keadaan itu semakin parah karena para peziarah merasa keberatan
untuk melewati wilayah Muslim di Asia kecil. Namun, penyebab utama Perang
Salib adalah permintaan Kaisar Alexius Comnenus kepada Paus Urbanus II pada
tahun 1095 untuk memberikan bantuan, karena wilayah kekuasaannya di Asia
diserang oleh Bani Saljuk di sepanjang pesisir Marmora. Serangan tersebut
mengancam stabilitas Konstantinopel. Paus kemungkinan melihat permintaan
tersebut sebagai peluang untuk menyatukan kembali Gereja Yunani dan Gereja
Roma, yang telah terpecah sejak tahun 1009 hingga 1054.2
Dalam sejarahnya ada beberapa faktor yang menjadi pemicu utama
terjadinya perang salib.Sebab-sebab terjadinya Perang Salib antara lain:
1. Faktor Agama
Hilangnya kemerdekaan umat Kristiani untuk beribadah ke yerusalem.
Kondisi ini merupakan kebijakan yang dijalankan pemerintahan bani saljuk yang
menguasai Yerusalem pada tahun 1076 M. Padahal boleh dikatakan bahwa umat
kristiani sangat fanatik dan beranggapan bahwa berziarah ke makam Nabi Isa AS
di Yerusalem merupakan amalan yang paling baik dan besar pahalanya.
Kebijakan yang telah ditetapkan Bani Saljuk nampaknya sangat
memberatkan umat Kristiani yang akan melakukan ziarah ke Yerusalem. Rakyat
eropa yang mendengar kebijakan yang merugikan umat kristiani ini gempar dan
sedih, segala bentuk tuntutan dan pembelaan dilakukan Rakyat Eropa kepada
umat Kristiani sebagai bentuk Respon pembelaan terhadap mereka. Mereka
menanamkan ideologi yang kemudian menjadi Visi mereka untuk menaklukkan
Baitul Maqdis dengan keyakinan bila berziarah ke tanah suci mendapat pahala
yang besar. Serta mengusir dan melepaskan kekuasaan kaum muslimin ditanah
Yerusalem jauh lebih besar pahalanya.3
2. Faktor Poltik
Posisi-posisi kunci disekitar Asia kecil telah dikuasai Bani Saljuk dan
bahkan dijadikan sebagai basis kekuatan dan pertahanan. Kondisi demikian
2 Muhammad Yusuf, “Perang Salib; Sebab Dan Dampak Terjadinya Perang Salib,” Al-Ubudiyah: Jurnal
Pendidikan Dan Studi Islam 1, no. 1 (2020).
3 Syamzan Syukur, “Perang Salib Dalam Bingkai Sejarah,” Al-Ulum 11, no. 1 (June 1, 2011): 191.berpotensi menjadi ancaman kota Konstantinopel akan jatuh ketangan umat
islam (Bani Saljuk). Mengetahui ancaman ini Kaisar Alexius penguasa Byzantium
tidak memiliki pilihan lain kecuali meminta dukungan dan bantuan politik
keuskupan Agung di Roma. Pihak keuskupan Agung sendiri menyambut baik
kerja sama ini, karena mereka juga berkewajiban membela kepentingan agama,
disamping itu sesungguhnya kepentingan politik bagi keuskupan juga sangat
menggiurkan. Karena itu mulailah pihak Keuskupan mengatur rencana kerja
perebutan kembali Baitul Maqdis. Namun yang menarik, rencana mereka
dimulai dengan seruan perang suci oleh Paus Urbanus II terhadap dunia Islam.
Jika ditelaah, perang suci (perang untuk membela agama) yang digaungkan Paus
Urbanus II sebenarnya lebih bertujuan untuk memenuhi ambisi politiknya
dalam menguasai wilayah yang saat itu dikuasai oleh kaum Muslim. Inti dari
masalah ini adalah penguasaan Baitul Maqdis oleh Bani Saljuk, yang menerapkan
kebijakan yang menyulitkan umat Kristen untuk berziarah ke sana. Oleh karena
itu, sebenarnya tema utama dari propaganda Paus adalah (pembebasan Baitul
Maqdis,) bukan perang suci terhadap dunia Islam.
3. Faktor Ekonomi
Adanya keinginan bangsa Barat menuguasai tata niaga di kawasan Laut
tengah sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai sentral perdagangan
Barat di Timur. Kawasan ini memang sangat strategis, sebagai pintu
pengembangan perdagangan ke arah timur melalui Laut Merah.4
Faktor ekonomi pula yang memotivasi masyarakat Eropa kelas bawah,
karena mereka seringkali mendapat tekanan, dibebani berbagai pajak serta
sejumlah kewajiban lainnya dari kerajaan dan gereja. Sehingga ketika mereka
dimobilisasi oleh pihak gereja untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib
dengan janji akan mendapat kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik bila
dapat memenangkan peperangan, Di samping itu mereka berharap akan
mendapat keuntungan ekonomi di daerah-daerah yang ditaklukan dari tangan
Islam. Berbagai harapan dan janji-janji yang diberikan kepada mereka sehingga
sangat nampak bagaimana orang-orang kelas bawah mengamini dan
menyambut Perang Salib sebagai perang yang mendatangkan kebaikan bagi
mereka.
c. Proses Berlansungnya Perang Salib
Perang salib (Holy War) dalam sebagian literatur mengungkapkan masa
terjadinya antara tahun 1096 sampai 1291. Perang Salib berlansung hampir
mencapai dua abad lamanya. Dengan waktu yang demikian panjang itu, bisa
dibayangkan betapa banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak.
Jika dilihat dari rentang waktu berlangsungnya Perang Salib, secara
umum dapat dibagi menjadi tiga periode utama, yaitu 1) Periode Penaklukan, 2)
Periode reaksi umat Islam, 3) periode Kehancuran.
1. Periode pertama (Periode Penaklukan)
4 Syukur, “Perang Salib Dalam Bingkai Sejarah.” Al-Ulum 11, no. 1 (June 1, 2011): 193.Pada tanggal 26 November 1095 Kaisar Alexus I menjalin kerjasama
dengan Paus Urbanus II. Kerjasama ini dilakukan guna meberi motivasi serta
arahan untuk membangkitkan semangat umat Kristen pada masa itu. Arahan
tersebut disampaikan saat Paus Urbanus II menyampaikan Pidato di Clermont
(Perancis Selatan). Gerakan awal ini dipimpin oleh Pierre I ermite. Sepanjang
perjalanan menuju Konstantinopel mereka membuat berbagai kerusakan
seperti, perampokan, dan bahkan terjadi bentrokan dengan penduduk Hongaria
dan Bizantium. Namun pada akhirnya Bani Saljuk yang dipimpin oleh Killij
Arslan dan Alp Arslan mampu menaklukkan Pierre I bersama dengan
pasukannya, yang mengakibatkan mereka mundur dan kembail ke Clermont.
Dalam periode ini, pasukan Perang Salib yang dipimpin oleh Godfrey of
Bouillon, Bohemond of Taranto, dan Raymond of Toulouse melancarkan
ekspedisi militer yang sangat terorganisir. Berkat strategi mereka, pasukan ini
berhasil merebut Yerusalem pada 7 Juli 1099. Keberhasilan ini menandai puncak
dari Perang Salib Pertama, yang dianggap sebagai kemenangan besar bagi
pasukan Kristen Eropa. Namun, kemenangan tersebut diwarnai dengan
kekejaman luar biasa. Pasukan Salib melakukan pembantaian massal terhadap
penduduk Yerusalem, termasuk umat Islam, tanpa pandang bulu—laki-laki,
perempuan, anak-anak, dan orang tua menjadi korban. Catatan sejarah
menyebutkan bahwa pembantaian ini mengakibatkan aliran darah begitu tinggi
hingga, menurut saksi mata, mencapai pelana kuda para prajurit. Strategi
pasukan Salib saat itu tidak mengutamakan pengambilan tawanan, melainkan
eliminasi total, yang menciptakan trauma dan kebencian mendalam di kalangan
umat Islam.
Keberhasilan pasukan Salib dalam menaklukkan Yerusalem sebagian
besar disebabkan oleh kurangnya persiapan dari pihak Muslim. Penduduk
setempat, baik Muslim, Yahudi, maupun Kristen, tidak menyadari bahwa
pasukan Salib datang untuk menyerang. Pada saat itu, Yerusalem berada di
bawah kekuasaan Bani Saljuk, bukan kekhalifahan Muslim secara langsung,
sehingga pertahanan kota tidak berada dalam kondisi siap tempur.Sebelum
merebut Yerusalem, pasukan Salib terlebih dahulu menaklukkan sejumlah
wilayah penting, termasuk Anatolia Selatan, Tarsus, Antiokhia, Aleppo, Ar-Ruha
(Edessa), Tripoli, dan beberapa bagian Syam. Kekejaman dan pembantaian yang
dilakukan di Yerusalem menciptakan luka sejarah yang mendalam bagi umat
Islam dan memperkuat persepsi ketidakadilan terhadap Perang Salib. Sementara
itu, narasi Eropa pada masa tersebut cenderung menutupi kekejaman ini demi
mempertahankan citra moral pasukan Kristen, berbeda dengan insiden-insiden
pembantaian lainnya yang lebih sering diungkapkan.5
Kemenangan Pasukan Salib pada periode ini telah mengubah peta dunia
Islam. Bukti kemenangan tersebut dapat dilihat dengan berdirinya kerajaan-
kerajaan Latin-Kristen di wilayah bagian Timur, seperti kerajaan Baitul Makdis
yang berdiri pada tanggal 15 juli 1099 dibawah pemerintahan raja Godfrey,
5 Yusuf, “Perang Salib; Sebab Dan Dampak Terjadinya Perang Salib,” 3.kemudian di Eddesa pada tahun 1099 dibawah kekuasaan Raja Baldwin, serta di
wilayah Tripoli masih pada tahun 1099 dibawah kekuasaan Raja Reymond.
Akibatnya, wilayah-wilayah kekuasaan Islam masa ini hamper sebagian besar di
duduki oleh tentara Kristiani.
2. Periode kedua ( Reaksi Umat Islam)
Pada masa ini, beberapa wilayah penting yang sebelumnya dikuasai oleh
kaum Muslim jatuh ke tangan pasukan Salib. Kondisi ini memicu kebangkitan
umat Islam yang segera menghimpun kekuatan besar untuk menghadapi
ancaman tersebut. Di bawah kepemimpinan panglima Imaduddin Zangi,
Gubernur Mosul, umat Islam bersatu dalam sebuah gerakan strategis yang
bertujuan membendung dan memukul balik kekuatan Salib. Hasil dari upaya ini
tampak pada tahun 1144 M, ketika tentara Muslim berhasil merebut kembali tiga
wilayah kunci: Aleppo, Harran (Hamimah), dan Edessa. Kemenangan atas
Edessa, khususnya, dianggap sebagai tonggak penting karena merupakan salah
satu benteng utama pasukan Salib di wilayah tersebut. Keberhasilan ini menjadi
simbol semangat juang dan ketangguhan umat Islam. Setelah Imaduddin Zangi
wafat pada tahun 1146 M, kepemimpinannya diteruskan oleh putranya, Nuruddin
Zangi. Nuruddin meneruskan cita-cita ayahnya yang ingin merebut kembali
Negara-negara Islam di timur dari cengkraman kaum Salib. Dalam
kepemimpinan Pangeran Nuruddin, ia telah menghidupkan kembali citra
tentang orang adil dan saleh yang berjuang bukan untuk ego, bukan untuk
kekayaan bahkan untuk kekuasaan, melainkan untuk umat.6 Kota-kota yang
berhasil dibebaskan masa putranya ini, antara lain Damaskus, Antiolia dan Mesir
pada tahun 1149 M, dan pada tahun 1151 M, kemenangan yang sangat
mengagumkan seluruh wilayah Edessa dapat direbut kembali dan dikuasai oleh
tentara Islam.7
Kekalahan wilayah Edessa ini, menyebabkan kaum Kristiani
mengobarkan Perang Salib kedua yang susungguhnya. Kali ini Paus Eugenius III
menyerukan perang suci yang disambut sangat baik oleh Raja Perancis bernama
Louis VII dan Raja jerman bernama Condrad II. Kedua raja ini memimpin
pasukan tentara salib dengan rencana untuk merebut wilayah Kristen di Syiria.
Namun tidak berselang lama kedua pasukan ini berhasil di taklukkan oleh
Nuruddin Zangi akibatnya mereka kembali bertolak ke negerinya.
Nuruddin Zangi wafat pada tahun 1174 M, panglima perang selanjutnya
berada dalam kekuasaan Shalahuddin Al-Ayyubi (Saladin) yang berhasil
mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir pada tahun 1175 M serta berhasil
membebaskan Baitul Makdis pada tanggal 2 Oktober 1187. Peperangan yang
dipimpin oleh Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi berakhir dengan kemenangan
gemilang, ditandai dengan direbutnya kembali Yerusalem dari pasukan Kristen
yang telah mendirikan Kerajaan Latin selama 88 tahun. Keberhasilan umat Islam
6 Yuslia Styawati and Mubaidi Sulaeman, “Perang Salib Dan Dampaknya Pada Dunia,” Realita: Jurnal Penelitian
Dan Kebudayaan Islam 18, no. 2 (2020): 55,
7 Yusuf, “Perang Salib; Sebab Dan Dampak Terjadinya Perang Salib.”:4ini memberikan pukulan besar bagi pasukan Salib dan menyulut kemarahan
mereka. Akhirnya, mereka mengerahkan kembali kekuatan untuk mengirim
ekspedisi militer yang lebih besar dan tangguh. Persiapan dilakukan dengan
cermat, menyusun strategi terbaik sebagai aksi balasan. Ekspedisi ini dimulai
pada tahun 1189 M dan dipimpin oleh raja-raja besar Eropa, termasuk Frederick
I (Frederick Barbarossa, Kaisar Jerman), Richard I (The Lion Hearted, Raja
Inggris), serta Philip II (Philip Augustus, Raja Prancis).
Ekspedisi Perang Salib ini terbagi dalam beberapa divisi, dengan sebagian
pasukan menempuh jalur darat dan sebagian lainnya melalui jalur laut. Divisi
darat, dipimpin oleh Frederick Barbarossa, mengalami kemunduran setelah
Frederick tewas tenggelam saat menyeberangi Sungai Saleph di wilayah
Armenia, dekat kota Ruba (Edessa). Sebagian besar pasukannya mundur, kecuali
sekelompok kecil yang melanjutkan perjalanan.
Dua divisi lainnya yang bergerak melalui jalur laut bertemu di Sisilia dan
menetap di sana hingga musim dingin berakhir. Richard kemudian bergerak
menuju Siprus dan berhasil mendudukinya, sementara Philip langsung menuju
Acre. Di Acre, pasukannya bertempur sengit melawan pasukan Saladin. Meski
sempat terjadi perlawanan, Saladin memilih mundur dan memfokuskan
pertahanan di Mesir.
Dalam situasi tersebut, kedua pihak, Richard dan Saladin, sepakat untuk
melakukan gencatan senjata melalui sebuah perjanjian yang dikenal sebagai
Shulh al-Ramlah. Perjanjian ini menjamin keamanan umat Kristen yang hendak
berziarah ke Baitulmaqdis, serta menetapkan bahwa wilayah pesisir utara,
termasuk Acre dan Jaffa, berada di bawah kendali pasukan Salib.8
3. Periode ketiga (Periode Kehancuran)
Periode ini, peperangan terjadi dikarenakan ambisi politik untuk
memperoleh kekuasaan dari sesuatu yang bersifat materialistik daripada
motivasi agama. Berbagai tokoh pun muncul, dalam hal ini muncullah pahlawan
wanita dari kalangan kaum muslimin yang terkenal berani yaitu Syajar Ad-Durr.
Ia berhasil menghancurkan pasukan Raja Louis IX dari perancis sekaligus
menangkap raja tersebut9
. Pada tahun 1219 M, perang meletus kembali, pada
waktu itu tentara Kristen berada dibawah kekuasaan Raja Jerman, Frederick II,
mereka berusaha merebut Mesir terlebih dahulu sebelum merebut kewilayah
palestina, dengan harapan mereka mendapatkan bantuan dari orang-orang
Kristen Qibthi.
Mereka berhasil menduduki Dimyat pada serangan ini, Raja mesir dari
dinasti Ayyubiyah waktu itu, al Malik al Kamil, membuat perjanjian dengan Raja
Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara
al Malik al Kamil harus bersedia melepaskan palestina. Raja Frederick menjamin
keamanan kaum muslimin disana, dan begitupun Frederick tidak diperbolehkan
mengirim bantuan kepada Kristen yang berada di wiayah Syiria. Dalam
8 Yusuf, “Perang Salib; Sebab Dan Dampak Terjadinya Perang Salib,”
9 Styawati and Sulaeman, “Perang Salib Dan Dampaknya Pada Dunia.”perkembangan berikutnya, wilayah palestina yang tadinya diserahkan kepada
raja Frederick kini dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1247
M, yakni pada masa pemerintahan al-Malik al shalih, penguasa mesir pengganti
al Malik al Kamil. Ketika mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang
menggantikan posisi Daulah Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh
Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh
kaum muslimin pada tahun 1291 M. Demikianlah perang salib yang berkobar di
Timur. Perang ini tidak berhenti di barat , termasuk di wilayah Spanyol, sampai
umat Islam habis terkikis dan terusir disana.
Umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari pasukan
tentara Salib, namun berbagai kerugian yang mereka derita begitu banyak.
Sebab, peperangan semuanya itu terjadi diwilayah kekuasaan Islam. Diantara
kerugian yang diderita oleh kaum muslimin adalah lemahnya kekuatan politik
umat Islam serta banyak dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari
pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
d. Dampak Perang Salib terhadap Kemunduran Islam
Hasil dari Perang Salib ialah Meskipun, perang ini diakhiri dengan
kemenangan politik dan militer umat Islam dan umat Islam dapat
mempertahankan tanah mereka, tetapi juga orang-orang Eropa dapat
mengambil keuntungan ekonomi, peradaban dan budaya yang sangat besar.
Perang Salib membuat orang Eropa mengenal Timur dan terutama peradaban
Islam yang luar biasa. Mereka jauh dari peradaban dan ketertarikan umat Islam.
Perkembangan yang sama yang menyebabkan perkembangan Eropa kemudian
memiliki peran penting. Pencapaian peradaban Islam di Eropa bergerak di
belakang Perang Salib. Perang salib yang terjadi hampir dua abad lamanya
memberikan dampak yang cukup signifikan dalam beberapa bidang meski lebih
banyak menguntungkan Barat daripada Timur. Dampak peradaban yang
dihasilkan diantaranya ialah:
a.Bidang perekonomian
Perang Salib merupakan konflik yang berdarah serta membawa dampak
signifikan yang mengubah peradaban Eropa secara mendalam. Para pedagang
Italia, seperti dari Venesia, Genoa, dan Marseille, meraih kekayaan luar biasa
dengan memanfaatkan peluang perdagangan yang terbuka selama konflik
tersebut. Mereka juga memperoleh kemampuan membaca dan membuat peta
Mediterania yang lebih akurat, yang menjadi dasar eksplorasi maritim
berikutnya. Selain itu, interaksi dengan dunia Timur memperluas wawasan para
ahli sejarah, biarawan, dan prajurit Eropa tentang keragaman budaya dan
luasnya Asia, yang mereka dokumentasikan dan bagikan kepada masyarakat
Eropa lainnya.
Semangat untuk perjalanan dan penemuan yang dipicu oleh Perang Salib
melahirkan peta dan buku panduan yang mendorong eksplorasi lebih lanjut ke
wilayah Asia. Dalam bidang kedokteran, dokter Kristen belajar dari para dokter
Muslim dan Yahudi tentang cara menyembuhkan penyakit dan melakukanoperasi, yang kemudian mereka kembangkan untuk kemajuan medis di Eropa.
Meskipun Tentara Salib kehilangan kendali atas Palestina, kapal-kapal Italia
menunjukkan dominasi mereka di Mediterania, yang menjadi jalur perdagangan
strategis. Perang Salib juga mempercepat perkembangan perdagangan antara
Eropa dan dunia Muslim Timur, menjadikan kota-kota pelabuhan seperti
Venesia dan Genoa pusat ekonomi yang makmur.
Dengan demikian, Perang Salib tidak hanya berdampak sebagai konflik
militer, tetapi juga sebagai pemicu kemajuan perdagangan, pengetahuan, dan
teknologi yang membentuk masa depan Eropa.10
Perang Salib menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur vital.
Kota-kota besar, seperti Yerusalem dan Damaskus, mengalami kehancuran yang
signifikan, termasuk pabrik-pabrik, pusat-pusat ekonomi, dan jaringan
transportasi. Hal ini mengakibatkan perlambatan yang signifikan dalam
produksi dan distribusi barang, sehingga memperburuk ekonomi lokal yang
rapuh.11
b.Bidang Politik
Dampak politik Perang Salib membantu melemahkan kekuasaan para
bangsawan feodal dan memperkuat posisi raja serta rakyat. Banyak bangsawan
yang ikut serta dalam ekspedisi tidak kembali, sehingga tanah mereka sering
jatuh ke tangan kerajaan. Selain itu, banyak bangsawan menghabiskan kekayaan
mereka untuk membiayai perjalanan tersebut. Sementara itu, kota-kota
memperoleh keuntungan politik dengan melemahkan pengaruh para baron dan
pangeran Perang Salib. Kelas burgher (warga kota) yang memiliki uang,
memberikan pinjaman kepada penguasa dan sebagai imbalannya menerima
piagam berisi hak istimewa.
Perang salib pun sangat memengaruhi Eropa pada Abad pertengahan.
Sebagian besar benua dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada
Abad ke !4, perkembangan birokrasi yang terpusat di Perancis, Inggris, Burgundi,
Portugal, Castilia dan Aragon. Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan
budaya Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenangjung
Iberia dengan Sisilia, banyak Ilmu Pengetahuan di Bidang-bidang sains,
pengobatan dan Arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa
perang Salib.12
Dampak lain dari Perang Salib adalah menahan laju ekspansi Turki.
Kejatuhan Konstantinopel tertunda selama lebih dari tiga abad, memberi waktu
bagi peradaban Kristen di Eropa, terutama Jerman, untuk menguat dan
menghadapi gelombang invasi Muslim pada abad ke-15.
10 Masoumeh Banitalebi, Kamaruzaman Yusoff, and Mohd Roslan Mohd Nor, “The Impact of Islamic Civilization
and Culture in Europe during the Crusades,” World Journal of Islamic History and Civilization 2, no. 3 (2012):
185.
11 M. KHIKAMUDDIN and NURUL HIKMAH, “CIVILIZATION AFTER THE CRUSADES (The Impact of the Crusades
on Civilization, Commentary of Modern-Day Scholars and Efforts to Prevent Decadence),” MAHAD ALY
JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES 1, no. 1 (2024): 14.
12 Yusuf, “Perang Salib; Sebab Dan Dampak Terjadinya Perang Salib,” 175.c.Bidang Teknologi dan Militer
Perang Salib membangunkan bangsa-bangsa Eropa dari tidurnya, yang
mengarah pada berbagai kemajuan teknologi, termasuk yang berhubungan
dengan perang. Dengan peralatan canggih, mereka datang ke negeri-negeri
Islam untuk menjajah, merampas kekayaan, dan secara licik mengubah umat
Islam menjadi pengikut mereka. Pada tahun 1683 M, Kekaisaran Turki Utsmani
mengalami kekalahan yang signifikan setelah berperang melawan pasukan Eropa
di Wina. Hal ini membuka mata Barat terhadap fakta bahwa kekuatan Islam
telah berkurang secara signifikan, menandai dimulainya serangan besar-besaran
terhadap kerajaan-kerajaan Islam oleh Barat. Setelah kekalahan ini, Kekaisaran
Turki Utsmaniyah mengakui kemundurannya dibandingkan dengan kemajuan
Barat.
d.Merosotnya semangat Ber-Islam
Pasca Perang Salib, beberapa penduduk di wilayah Timur mengalami
penurunan semangat keislaman. Khususnya di kalangan penguasa, Islam tidak
lagi dijadikan sebagai pedoman utama yang mampu membentuk sikap dan
perilaku. Ajaran Islam kehilangan perannya sebagai panduan moral dan kompas
dalam menentukan tindakan mereka.13
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi antara lain:
1. 2. 3. 4. Keletihan Akibat Perang; Perang Salib berlangsung selama berabad-abad,
menguras sumber daya manusia dan ekonomi. Keletihan fisik dan mental
ini menyebabkan penguasa dan masyarakat kehilangan fokus pada nilai-
nilai spiritual, beralih pada upaya mempertahankan wilayah atau
memulihkan stabilitas politik.
Interaksi Budaya dengan Barat; Pengaruh budaya Barat melalui kontak
langsung selama perang dan perdagangan pasca konflik memengaruhi
beberapa penguasa Muslim. Sebagian dari mereka lebih tertarik pada
kemewahan, gaya hidup, dan strategi politik pragmatis yang diadopsi dari
Barat, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip Islam.
Korupsi Moral di Kalangan Elite; Beberapa penguasa menjadi lebih fokus
pada ambisi pribadi, kekuasaan, dan kemewahan, sehingga Islam tidak lagi
dijadikan sebagai pedoman utama dalam kehidupan. Hal ini memperburuk
ketidakstabilan politik dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
pemimpin mereka.
Hilangnya Rasa Persatuan Islam; Perpecahan antara dinasti-dinasti Muslim,
seperti persaingan antara Dinasti Abbasiyah dan Fatimiyah, melemahkan
semangat Islam sebagai kekuatan pemersatu. Fokus pada konflik internal
ini mengalihkan perhatian dari tanggung jawab mereka untuk memperkuat
nilai-nilai Islam di masyarakat.
13 KHIKAMUDDIN and HIKMAH, “CIVILIZATION AFTER THE CRUSADES (The Impact of the Crusades on
Civilization, Commentary of Modern-Day Scholars and Efforts to Prevent Decadence),” 15.e.Pergeseran Fokus dari Ilmu Pengetahuan dan Perbanyakan ke Orientasi
Militer
Perang Salib di Timur Tengah secara signifikan berdampak pada politik
Islam, menggeser fokus dari pengembangan pengetahuan dan penyebaran Islam
ke orientasi yang lebih militeristik. Kekhalifahan Fatimiyah, Dinasti Ayyubiyah,
dan Dinasti Mamluk, yang sebelumnya memprioritaskan pengembangan ilmu
pengetahuan dan penyebaran Islam, terpaksa mengalihkan fokus mereka ke
aspek militer. Isu-isu terkait Perang Salib yang sedang berlangsung menuntut
perhatian dan sumber daya pemerintahan, mengalihkan perhatian dari
pengembangan intelektual dan spiritual di kalangan umat Islam. Dampak dari
pergeseran orientasi dari pengembangan peradaban ke pengembangan militer
ini sangat besar. Sumber daya yang sebelumnya dialokasikan untuk
pertumbuhan intelektual dan infrastruktur sosio-ekonomi kini dialihkan untuk
kebutuhan militer, menghambat kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan budaya
serta mengurangi daya saing dan stabilitas politik di wilayah tersebut. Pergeseran
orientasi ini juga memiliki implikasi jangka panjang yang signifikan.
Kesenjangan pembangunan antara dunia Islam dan negara-negara Barat semakin
melebar, sementara kemajuan militer tidak serta merta menjamin keamanan
jangka panjang. Akibatnya, pencapaian Islam di berbagai bidang, seperti ilmu
pengetahuan, seni, dan budaya, mulai terkikis dan meninggalkan dampak yang
bertahan lama dalam perkembangan sejarah dunia Islam.
e. Kesimpulan
Perang Salib membawa dampak besar terhadap peradaban Islam,
khususnya dalam memengaruhi kemunduran di berbagai aspek kehidupan
sosial, politik, dan intelektual. Di kalangan penguasa, Islam tidak lagi dijadikan
sebagai pedoman utama dalam menjalankan pemerintahan, sehingga
melemahkan kohesi internal dan semangat keislaman di masyarakat.
Perpecahan politik di antara dinasti-dinasti Islam semakin memperburuk situasi,
menyebabkan hilangnya rasa persatuan dan melemahkan posisi peradaban Islam
di panggung global.
Selain itu, fokus yang bergeser dari ilmu pengetahuan dan inovasi menuju
konflik militer dan perebutan kekuasaan menghambat perkembangan
intelektual yang sebelumnya menjadi ciri khas kejayaan dunia Islam. Sumber
daya yang terkuras akibat perang panjang juga memperlemah kapasitas umat
Islam untuk mempertahankan wilayah mereka dari ancaman eksternal, seperti
invasi Mongol dan kemudian ekspansi kolonial Eropa.
Interaksi dengan dunia Barat selama Perang Salib memang membawa
beberapa transfer pengetahuan, tetapi dampak negatifnya lebih besar terhadap
dunia Islam. Kekayaan intelektual yang semula menjadi kebanggaan umat mulai
diabaikan, sementara pengaruh budaya asing sering kali diadopsi tanpa
mempertimbangkan nilai-nilai Islam. Kondisi ini mempercepat kemunduran
peradaban Islam di era pasca-Perang Salib, meskipun sebagian wilayah tetap
berusaha mempertahankan tradisi keilmuan dan spiritualitasnya.Perang Salib mengajarkan bahwa perpecahan internal dan kehilangan
arah spiritual adalah ancaman besar bagi peradaban. Oleh karena itu, refleksi
dari sejarah ini menekankan pentingnya persatuan, penguatan nilai-nilai agama,
dan dukungan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sebagai landasan
untuk kebangkitan kembali peradaban Islam di masa depan.
KAJIAN PUSTAKA
Banitalebi, Masoumeh, Kamaruzaman Yusoff, and Mohd Roslan Mohd Nor. “The
Impact of Islamic Civilization and Culture in Europe during the Crusades.”
World Journal of Islamic History and Civilization 2, no. 3 (2012): 182–87.
KHIKAMUDDIN, M., and NURUL HIKMAH. “CIVILIZATION AFTER THE CRUSADES
(The Impact of the Crusades on Civilization, Commentary of Modern-Day
Scholars and Efforts to Prevent Decadence).” MAHAD ALY JOURNAL OF
ISLAMIC STUDIES 1, no. 1 (2024): 33–54.
Styawati, Yuslia, and Mubaidi Sulaeman. “Perang Salib Dan Dampaknya Pada Dunia.”
Realita: Jurnal Penelitian Dan Kebudayaan Islam 18, no. 2 (2020).
http://jurnallppm.iainkediri.ac.id/index.php/realita/article/view/73.
Syukur, Syamzan. “Perang Salib Dalam Bingkai Sejarah.” Al-Ulum 11, no. 1 (June 1, 2011):
189–204.
Yusuf, Muhammad. “Perang Salib; Sebab Dan Dampak Terjadinya Perang Salib.” Al-
Ubudiyah: Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam 1, no. 1 (2020): 30–36.